Ini Dia
Kisah Kotaku Tarutung, si Kota Durian
Tarutung adalah sebutan untuk buah durian yang
dalam bahasa Batak disebut tarutung. Jadi nama Kota Tarutung sebagai sebutan
untuk nama Ibukota Kabupaten Tapanuli Utara dapat disebut sebagai kota durian. Namun
penyebutan kota Tarutung ini bukanlah penamaan yang asal, melainkan punya kisah tersendiri.
Sampai pada awal abad ke-19 kota Tarutung dulunya
sudah ramai dikunjungi oleh orang-orang sekitarnya untuk transaksi dagang yang
datang dari daerah Silindung, Humbang, Samosir, Toba, Dairi, termasuk dari arah
selatan seperti Pahae, Sipirok maupun sekitar Sibolga dan Barus.
Pada awalnya transaksi perdagangan tradisional ini
dilakukan disebuah lokasi perkampungan yang berpusat dibawah sebuah pohon
beringin rindang yang disebut Onan Sitaru (= pasar barter) di perkampungan
Saitnihuta sekarang. Konon kabarnya pohon beringin tersebut masih tumbuh dan
berusia sekitar 200 tahun sekarang ini.
Perdagangan pada masa itu masih dominan menggunakan
sistem barter yaitu pertukaran barang antar sesama pedagang. Komoditi barang
kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, ternak, ikan asin, garam, beras,
tembakau, umbi-umbian, termasuk juga komoditi eksport saat itu seperti kemenyan
yang memang banyak dipasok dari kawasan Humbang, Pahae dan Silindung.
Semasa bergejolaknya perang saudara oleh
Bonjol yang disebut Perang Paderi (1816 – 1833) maka kegiatan perdagangan di
pasar tradisional ini terhenti sama sekali karena pasukan Bonjol
meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Batak Utara yang memulai penguasaannya
dari kawasan Silindung dan menyebar sampai ke kawasan Batak lainnya di Toba.
Perang yang disertai pembumihangusan inilah
juga yang menyebabkan di kawasan Silindung sangat jarang terlihat bangunan
rumah khas Batak di perkampungannya sekarang ini dan memang perkampungan yang
ada sekarang baru terbangun kembali setelah selesainya perang saudara Perang
Paderi dan datangnya evangelisasi Kristen.
Sekembalinya pasukan Paderi keluar dari
Silindung, maka daerah Silindung layaknya seperti kawasan hantu yang tak
berpenghuni. Lambat laun penduduk turun dari gunung-gunung untuk membuka kembali
perkampungannya diatas puing-puing kehancuran atau membuka perkampungan baru.
Sejalan dengan bertambahnya waktu maka
keramaian penduduk membangkitkan kembali semangat hidup masyarakat untuk
melakukan kegiatannya. Namun pada saat yang bersamaan Tanah Batak ini mulai
dikuasai oleh Tentara Belanda terutama setelah penyerahan Sumatra Barat oleh
penguasaan Inggris kepada pemerintahan Kolonial Belanda. Maka Belanda pun
menjejakkan kakinya di Silindung dan mendirikan markasnya persis di pusat
kota Tarutung sekarang
yang disebut Tangsi.
Perdagangan
tradisional yang
dulunya sudah berkembang di Onan Sitaru Saitnihuta mulai menampakkan
kesibukannya, namun tempatnya sudah berganti menjadi di bawah kawasan Tangsi
yang dikuasai Belanda dan di sekitar itu berdiri perkampungan yang disebut
Hutatoruan. Para pedagang melakukan kegiatan berdagang didekat Tangsi yang
tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di
Tangsi tersebut.
Kawasan itu menjadi resmi sebagai
tempat berdagang dan Belanda menanam sebuah pohon pertanda yaitu pohon durian
yang orang Batak menyebutnya tarutung di tahun 1877. Setelah lebih kurang 60
tahun lamanya maka terbukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon
tarutung yang kemudian berkembang menjadi kota yang disebut Kota Tarutung
sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada sebuah tulisan di kartaj09.student.ipb.ac.id,
dikatakan bahwa pohon durian sebagai pertanda awal berdirinya Kota Tarutung
tersebut masih tumbuh tegar saat ini dan menghasilkan buah yang lebat pada
musimnya walaupun berukuran agak kecil. Pohon ini menjadi mascot Kota Tarutung
dan pohon durian yang sudah berusia 131 tahun itu tetap terawat dalam
lingkungan taman kota oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar